Featured Widget

6/recent/ticker-posts

Memilah Hukum Qathi dan Ijtihadi, Ustadz Umar Serukan Integrasi Sains-Al-Qur'an

PCM PANGGUNGREJO – Ustadz Umar Efendi dalam pengajiannya di Masjid At Taqwa pada Kamis (23/10/2025) menyerukan jamaah untuk memahami perbedaan antara hukum Islam yang bersifat mutlak (qathi) dan yang dapat disesuaikan (ijtihadi), serta menekankan pentingnya menyelaraskan ilmu pengetahuan (sains) dengan Al-Qur'an.

Kewajiban Mutlak: Jilbab dan Shalat Wajib

Ustadz Umar Efendi mengawali ceramahnya dengan menepis logika yang kerap digunakan untuk meremehkan kewajiban syariat. Ia menegaskan bahwa jalan menuju surga memang banyak, namun terdapat perintah-perintah yang sudah dinaskan (qathi) oleh Allah, yang tidak boleh diubah.

"Tentang busana Muslim di Surat Anfal ayat 31 itu sudah wajib, sama seperti wajibnya salat lima waktu. Kalau sudah dipatenkan oleh Allah, itu enggak boleh diubah," tegas Ustadz Umar.

Ia mencontohkan, model pakaian boleh berbeda (tidak harus jubah), asalkan memenuhi syarat syariat: tidak transparan, tidak ketat, dan tidak membentuk tubuh. Ia juga meluruskan pandangan yang menganggap jilbab sebagai budaya Arab. Menurutnya, jilbab adalah perintah Allah yang disikapi oleh masyarakat Arab kala itu dengan menggunakan pakaian luarnya untuk menutup diri, bukan budaya semata.

Ruang Ijtihad: Jadwal Shalat dan Kompilasi Hukum Islam

Dalam konteks hukum yang fleksibel, Ustadz Umar menjelaskan bahwa aturan shalat lima waktu adalah qathi (pakem), namun waktu pelaksanaannya dapat disepakati sesuai keadaan dan lingkungan, seperti di sekolah atau kantor, asalkan masih dalam rentang waktu yang ditentukan.

Ia kemudian menyinggung Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1974, yang ia sebut sebagai contoh memodifikasi hukum Allah yang tidak qathi. Modifikasi penting terjadi dalam hal warisan, di mana KHI memungkinkan harta bersama dibagi dua terlebih dahulu sebelum dibagi waris, memberikan hak separuh harta kepada istri atas kontribusinya dalam rumah tangga.

"Itu namanya memodifikasi hukum-hukum Allah dalam agama Islam itu," jelasnya, merujuk pada prinsip ra'yu (akal) dalam ijtihad, seperti yang dicontohkan Mu'adz bin Jabal yang disetujui Rasulullah.

Integrasi Sains dan Al-Qur'an

Ustadz Umar sangat menyayangkan kecenderungan saat ini yang seakan memisahkan ilmu sains dan Al-Qur'an. Ia menekankan bahwa keduanya harus terpadu, sejalan dengan doa "fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah."

Ia mengutip kisah Ibnu Sina, tokoh muslim abad ke-9 yang hafal Al-Qur'an di usia muda, sekaligus menguasai ilmu kedokteran, psikologi, filsafat, hingga astronomi. "Ketika sains dan Al-Qur'an itu dipadukan, disampaikan pada khalayak ramai... akan terjadi hal yang sangat luar biasa," tuturnya, seraya mengimbau orang tua untuk memaksa anak-anak mereka belajar Al-Qur'an sejak dini agar kecerdasan mereka terasah.

Pentingnya Ikhlas dan Jalan Kebaikan

Ustadz Umar juga membahas habluminannas (hubungan dengan sesama manusia) yang luas, mencakup sedekah, infak, serta menyebarkan ilmu (amar ma'ruf nahi mungkar). Ia mengingatkan bahwa amal seseorang harus berlandaskan hati yang ikhlas.

"Jadi sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah," ucapnya mengutip sebuah ayat.

Ia mencontohkan kisah ahli syair yang mampu berdakwah melalui musik dan puisi (seperti Rhoma Irama), maupun kisah sahabat yang tidak mampu berbicara tetapi memiliki keistimewaan siddiq (jujur) dan ketaatan luar biasa. Ustadz Umar menyimpulkan, "Jalan kebaikan itu sangat banyak," dan dapat dilakukan melalui lisan, harta, maupun sikap istiqomah. (*)


Firnas

Posting Komentar

0 Komentar