Featured Widget

6/recent/ticker-posts

SEJARAH YANG DISEMBUNYIKAN: ORDONANSI GURU 1905 DAN PERANG PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH LAWAN PENJAJAH

MUHAMMADIYAH - Awal abad ke-20 adalah masa ketika kolonialisme Hindia Belanda tidak hanya menguasai tanah dan tenaga manusia, tetapi juga berambisi mengendalikan pikiran, akidah, dan ruang pendidikan pribumi. Salah satu kebijakan paling licik di bidang itu adalah Ordonansi Guru 1905.

Staatsblad Nomor 550 Tahun 1905 diterbitkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi guru-guru agama Islam di Jawa dan Madura. Isinya jelas dan kejam:

Setiap guru agama wajib memiliki izin tertulis dari bupati setempat sebelum boleh mengajar.

Tanpa izin itu, mereka bisa dihukum kurungan atau denda sebesar 25 gulden.


Nilai 1 gulden Hindia Belanda di awal abad ke-20 setara dengan kira-kira Rp 8.500-9.000 kurs modern (dengan asumsi 1 gulden = 0,605 gram emas, harga emas saat ini ± Rp 1,4 juta/gram).

Jadi, 25 gulden berarti sekitar Rp 212.500-225.000 jika dihitung dengan nilai sekarang.

Jumlah itu, di masa 1905, setara biaya hidup satu keluarga kecil selama 3-4 bulan.


Bagi guru-guru agama Islam di desa-desa miskin yang umumnya hanya memiliki kitab kuning dan pakaian lusuh denda ini bukan sekadar berat, tapi mematikan. Belum lagi ancaman penjara.

Sementara itu, aturan ini juga memposisikan para bupati lokal, yang kebanyakan bangsawan pribumi, sebagai alat pemerintah kolonial untuk memata-matai sesama umat Islam. Sejarawan Zaini Dahlan menyebut, ini adalah bentuk nyata dari “adu domba administratif” membuat elite lokal berhadapan langsung dengan rakyatnya sendiri.

MUHAMMADIYAH BANGKIT MELAWAN

Ketika Muhammadiyah berdiri tahun 1912 di Yogyakarta, Ahmad Dahlan sudah membaca ancaman ini. Muhammadiyah meyakini, kolonialisme bukan sekadar penjajahan fisik, tapi juga penjajahan budaya, hukum, sosial, dan pengetahuan.

Pada tahun 1923, situasi memuncak.

Di markas besar Muhammadiyah, rapat-rapat gelap digelar. Intel-intel Belanda menyusup ke berbagai forum. Namun, Hoofd Bestuur Moehammadijah (HBM) di bawah pimpinan H. Ibrahim akhirnya memutuskan sikap resmi:

Muhammadiyah secara tegas menolak Ordonansi Guru 1905.

Melalui sebuah Motie Perserikatan, pernyataan ini dikirim langsung ke pemerintah kolonial via surat resmi dan telegram.

Keberanian Muhammadiyah ini sangat berisiko. Selain ancaman pembubaran organisasi, para pimpinan dan guru-guru Muhammadiyah bisa dipenjarakan, didenda, atau dipaksa keluar dari Yogyakarta.

HASILNYA: BELANDA MELUNAK, TAPI MASIH LICIK

Tekanan dari Muhammadiyah dan organisasi Islam lain akhirnya tak bisa diabaikan.

Pada tahun 1925, pemerintah Hindia Belanda resmi mencabut Staatsblad 550/1905 dan menggantinya dengan Staatsblad 219/1925.

Aturan baru ini tampak lebih longgar. Namun jebakan hukumnya tetap:

Guru agama masih bisa dipidana jika mengajarkan materi yang dianggap menghasut.

Dendanya bahkan naik menjadi 200 gulden.

Nilai 200 gulden setara dengan kira-kira Rp 1,7 juta-1,8 juta nilai sekarang.

Bagi orang kampung miskin di masa itu, uang sebesar itu setara biaya hidup hingga 1 tahun lebih.

Ancaman ini sengaja dipasang agar guru-guru agama takut mengkritik atau mengajarkan materi keagamaan yang bisa memunculkan perlawanan terhadap kolonial.

PERLAWANAN BERTAKTIK: MUHAMMADIYAH MENGGEMPUR LEWAT MEDIA

Muhammadiyah cepat menyadari, meskipun aturan baru diterbitkan, penjajahan pikiran masih berlangsung.

Alih-alih kembali frontal seperti 1923, Muhammadiyah mengubah taktik:

Membangun kesadaran umat lewat media massa dan tulisan-tulisan di surat kabar.

Fachroddin, pimpinan majalah Bintang Islam, menjadi ujung tombaknya.

Pada tahun 1926, Fachroddin menulis serangkaian artikel yang menyindir dan mengkritik kebijakan kolonial ini.

Tulisan-tulisannya dibaca secara diam-diam dari mushola ke mushola, dari surau ke surau.

Di kampung-kampung kecil, orang-orang membicarakan tulisan itu dengan bisik-bisik, takut telinga intel Belanda mendengarnya.

PUNCAK PERLAWANAN: KONGRES MUHAMMADIYAH 1928

Titik klimaks terjadi di Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta tahun 1928.

M. Junus Anies, sekretaris Hoofd Bestuur, berdiri di hadapan ribuan peserta, utusan Belanda, dan wartawan asing.

Dengan suara lantang, ia mengecam:

“Belanda tak sekadar menjajah tanah, tapi ingin mematikan ilmu dan agama Islam. Kita wajib lawan, demi anak cucu kita!”

Tepuk tangan bergemuruh. Seorang utusan Belanda bahkan terlihat pucat.

Para guru Muhammadiyah dan rakyat yang hadir pun menitikkan air mata.

EPISTEMICIDE: PENJAJAHAN PIKIRAN SECARA SISTEMATIS

Dalam istilah akademik modern, strategi Belanda ini disebut epistemicide pembunuhan sistem pengetahuan lokal agar diganti dengan pengetahuan kolonial.

Sosiolog Boaventura de Sousa Santos menyebut epistemicide sebagai “pembunuhan tradisi intelektual sebuah bangsa untuk memastikan penjajahan abadi”.

Muhammadiyah paham betul, jika pendidikan Islam dimatikan, maka bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya. Karena itulah, perjuangan Muhammadiyah bukan hanya soal izin guru agama, melainkan tentang *mempertahankan eksistensi "PERADABAN ISLAM di NUSANTARA.

KESIMPULAN: PERANG TANPA SENJATA

Muhammadiyah membuktikan bahwa melawan penjajahan tak selalu harus dengan senjata.

Perlawanan bisa dilakukan lewat pena, wacana, media massa, dan membangun kesadaran kolektif.

Melawan epistemicide adalah perang jangka panjang mempertahankan pikiran agar tidak dijajah.

Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kemenangan itu bukan cuma milik para pejuang bersenjata, tapi juga para guru agama miskin yang rela didenda 25 atau 200 gulden demi menyalakan lentera ilmu di kampung-kampung.

---

Sumber Referensi :

- Alfian, Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah terhadap Kolonialisme Belanda, al-Wasat, 2010.

- Budd L. Hall & Rajesh Tandon, Decolonization of Knowledge, Epistemicide, Participatory Research and Higher Education, Research for All, 1 (1), 2017, 6–19.

- Farid Setiawan, Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah terhadap Ordonansi Guru, Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 2014, 47-70.

- Zaini Dahlan, Respons Muhammadiyah di Indonesia Terhadap Ordonansi Guru Awal Abad XX, Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 1, No. 1 (2020), 26-48.


#SejarahMuhammadiyah #Epistemicide #PerlawananIslamNusantara #PendidikanIslam #Muhammadiyah #KongresMuhammadiyah #Fachroddin #MJunusAnies #PolitikPengetahuan #IndonesiaMelawan

Posting Komentar

0 Komentar