Pasuruan, 6 Juli 2025 — Matahari belum tinggi, tapi langkah kaki sudah ramai menyusuri trotoar dan jalur pedestrian di sekeliling Alun-Alun Kota Pasuruan. Hari Ahad telah menjelma menjadi ruang kolektif, tempat kota ini bernapas dalam irama yang lebih santai — namun tetap berdenyut penuh makna.
Dari segala penjuru arah khususnya dari timur (Terminal Wisata Religi), para peziarah datang silih berganti menuju kompleks makam KH Abdul Hamid. Wajah-wajah yang teduh, langkah yang pelan namun mantap. Zikir lirih dan doa bergema di sela-sela batu nisan tua, menandai penghormatan kepada sosok ulama kharismatik yang begitu dihormati warga Pasuruan dan luar kota. Bagi banyak orang, mengunjungi makam KH Abdul Hamid bukan sekadar wisata religi, tetapi bagian dari tradisi ruhani yang menyambung hati kepada warisan keberkahan.
Dari pelataran Masjid Jami’ Al Anwar yang megah, satu hal yang menyita perhatian banyak orang adalah deretan payung-payung besar ala Madinah. Payung-payung raksasa itu mengembang saat pagi menjelang, melindungi jamaah dan peziarah dari sengatan matahari sambil memberi nuansa Timur Tengah yang khas. Kehadiran payung ini tak hanya menjadi peneduh fisik, tetapi juga simbol spiritual yang menambah kuat identitas kota sebagai "Madinah van Java"— julukan yang kian terasa nyata di bawah bayang-bayang payung megah itu.
Di sisi lain alun-alun, denyut kehidupan bergerak dalam semangat kebugaran. Puluhan orang berjalan kaki atau berlari kecil mengelilingi taman. Keringat mengucur, tapi senyum tetap merekah. Suasana ini terasa seperti pertemuan mingguan warga kota yang melepas penat dari hari-hari kerja, sekaligus memperkuat tali silaturahmi.
Pagi itu, para pedagang kaki lima mulai menata lapaknya. Bau harum segala jenis camilan gorengan, dan kopi hitam menyeruak dari wajan dan panci yang mengepul. Gerobak es dawet, sate ayam, hingga bubur kacang hijau berjejer rapi menanti pembeli. Seorang ibu tampak sibuk menyusun minuman botol, sementara anaknya mengipas arang sate yang mulai berwarna cokelat menggoda.
Di sudut alun-alun, tampak para penikmat warung bersila lesehan atau duduk santai ala "cangkruk" di kursi kayu. Obrolan ngalor-ngidul menyatu dengan aroma kopi panas dan suara "ahli kalam" - sebutan mereka yang suka ngobrol - yang setia bergosip ria berita pagi. Di sela-sela itu, terdengar tawa kecil dari anak-anak yang berlarian mengejar gelembung sabun, bermain bola plastik, atau hanya sekadar tertawa karena terjatuh di rerumputan.
Tak jauh dari sana, becak-becak wisata mulai beroperasi. Rombongan keluarga, wisatawan lokal, dan bahkan anak-anak muda menaiki becak berhias warna-warni yang siap mengantar mereka berkeliling kota. Sang pengayuh becak, dengan topi lebar dan senyum ramah, menjadi saksi hidup atas kehidupan kota yang terus bergerak dalam kehangatan tradisi.
Ada pula komunitas-komunitas kecil yang berkumpul: dari senam ibu-ibu PKK, latihan skateboard anak muda, sampai grup pecinta reptil yang memamerkan hewan peliharaan eksotis. Semua berkumpul dalam satu ruang, dalam satu waktu, membentuk kolase kehidupan yang penuh warna.
Ahad pagi di Alun-Alun Kota Pasuruan bukan sekadar rutinitas mingguan. Ia adalah panggung sosial, spiritual, dan kultural yang terus hidup dan tumbuh. Dan di bawah naungan payung-payung besar yang menjulang di pelataran masjid, julukan "Madinah van Java" bukan lagi sekadar harapan — tetapi cerminan nyata dari kota yang damai, bersahaja, dan sarat nilai-nilai luhur.
Oleh Firnas Muttaqin
Ahad, 6 Juli 2025
0 Komentar